PALEMBANG|PencanangNews.com-Revitalisasi Pasar 16 Ilir Palembang, dinilai tokoh masyarakat Yan Najib, merusak strata sosial pada pedagang kaki lima di kawasan tersebut.
Menurut pembalap nasional yang sekaligus tokoh masyarakat Sumatera Selatan itu, pemerintah harus memberikan ruang menyejukkan melalui koordinasi dengan masyarakat terlebih dahulu.
“Dalam perjumpaan dengan warga, pemerintah harus menjelaskan program revitalisasi dan kemanfaatan bagi perekonomian daerah. Jadi masyarakat bisa menerima program pengembangan pasar 16 Ilir sehingga menjadi ikon pasar berkelas internasional,” ujar Yan Najib, saat dikonfirmasi media ini, di ruang kerjanya, Jumat (7/7/2023).
Pembalap nasional yang setara dengan pembalap ternama Popo Hartopo di dekade 1980-an itu menyarankan, pemerintah harus bijak menghadapi persoalan pedagang kaki lima tersebut.
“Saya yakin, para pedagang itu mendukung progres revitalisasi itu. Karena ini sangat menguntungkan masa depan daerah ini. Namun sebelum itu dilaksanakan, kita cari dahulu jalan keluar bagaimana para pedagang kaki lima di kawasan itu tidak kehilangan mata pencarian,” tegasnya.
Menurut Yan Najib, para pedagang kaki lima di sana hanya berjualan untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. “Saya yakin itu,” katanya.
Meskipun ada juga pedagang yang berhasil meraih keberuntungan di dalam hidupnya, kata Yan Najib, namun lebih banyak mereka berjualan hanya untuk melepaskan tuntutan hidup sehari-hari.
“Apalagi ada pedagang yang mengaku membayar iuran Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu. Ini harus menjadi catatan pemerintah kota,” ujarnya.
Dari kejadian di lapangan, katanya, para pedagang seolah tak diberi kesempatan untuk menjaga hak-hak mereka.
Yan Najib berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan nasib rakyatnya. Sebab pedagang kaki lima yang tergusur itu ada jasanya. Mengapa begitu?
“Tanpa kesertaan mereka untuk menyemarakkan suasana, maka situasi di sana tak akan tercipta menjadi suasana perdagangan seperti sekarang ini. Maka pertimbangkan itu,” ujar Yan menutup perbincangan. (*)
Laporan Anto Narasoma