Berita200 Dilihat

Anto Narasoma
HARAPAN BAGI NEGARA

MEMBACA daftar sepuluh orang terkaya di Indonesia, ada gejolak yang kurasakan di dalam diri. Gejolak itu bisa saja gembira dan juga kecewa. Mengapa demikian?
—————

Sebagai warga negara yang mencintai negeri ini, seolah saya selalu terbelakang dalam mengelola kemampuan diri untuk merasakan nikmat kekayaan negara.

Itu saya lakukan sesuai dengan batas ilmu (pengetahuan) dan usaha yang dilakukan. Sebab saya merasa bahwa kekayaan negara ditujukan bagi kemakmuran rakyatnya.

Pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dijelaskan, “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuassi negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk memakmuran rakyatnya”.

Pertanyaannya, kok kemakmuran yang ditujukan bagi rakyatnya itu seolah tidak merata? Sebab dari data tertulis yang saya baca, ada sepuluh orang terkaya di Indonesia yang memiliki harta ratusan triliunan rupiah.

Meski prediksi yang saya tulis itu seperti ulasan anak di bawah umur, namun hal sederhana seperti inilah biasanya jujur mengungkap, tanpa ada rekayasa politis.

Sepuluh orang terkaya itu antara lain, pemilik Transmart, Chairul Tanjung (Rp 50 triliun), Bunjamin Sutiana (Rp 63 triliun), Tahir (Ang Tjoe Ming) pengusaha real estate yang memiliki kekayaan senilai Rp 70 triliun, Anthoni Salim pemilik Indofood (Rp 78 triliun), Sri Prakash pengusaha petrokikia (Rp 80 triliun), Susilo Wonowidjojo –pemilik rokok Gudang Garam yang memiliki kekayaan Rp 90 triliun, Prayogo Pangestu pemilik alat otomotif (Rp 130 triliun), Eka Tjipta Widjaya –pemilik kelapa sawit memiliki kekayaan Rp 130 triliun serta Budi & Michael Hartono pemilik rokok Djarum yang memiliki kekayaan Rp 540 triliun.

Dari sepuluh orang terkaya di Indonesia itu, saya jadi berpikir, kok bisa mereka meraih prestasi di bidang bisnis, sehingga mereka memiliki kekayaan sebesar itu.

Padahal sangat jelas, di dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 itu dijelaskan bahwa kekayaan negara itu dikelola pemerintah. Pengelolaan aset kekayaan alam seperti seperti apa yang dikelola pemerintah jika secara ril di lapangan, orang-orang miskin dan tidak mampu bergeletakan tidur di kaki lima dan di bawah jembatan?

Di sisi lain, banyak oknum pejabat yang kongkalikong dengan pengusaha nakal, sehingga oknum pengusaha mampu mendikte kebijakan pemerintah.

Pengusaha kaya, rakyat dan orang tak mampu, serta oknum pejabat korup tampak mesra hidup di negeri ini. Karena itu warna warni dalam proses hidup berdemokrasi.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang 1945 terkait kekayaan alam yang dikelola pemerintah itu diperuntukkan bagi kemamuran rakyatnya.

Yang aku pikirkan, kemakmuran seperti apa ketika aku melihat tiga fakta antara super kaya, miskin, kaya tapi korup?

Yang saya pikirkan, kemana negara melihat kondisi jomplang di lapangan terkait ketiga kondisi itu. Sebab sesua pasal 33 ayat (3) UU Dasar 1945 jelas terkait kebijakan pemerintah.

Jika kita runut dari usaha pengusaha terkaya itu, apakah mereka langsung.rnenikmati limpahan kekayaan itu? Tentu tidak. Sebab usaha dan kerja keras yang dilakukan mereka terkait keberhasilan itu, sangat keras dan panjang.

Namun pemberian akses bagi mereka juga dilakukukan dengan kebijakan pemerintah terkait izin usaha dan izin lokasi usaha mereka.

Yang jadi pertanyaan, apakah ada oknum pejabat yang memberikan perizinan, tapi dia juga mendapat fee dari “kebijakan” itu?

Apakah pemerintah (negara) juga melihat sejumlah rakyat tak mampu yang tergelimpang oleh kemiskinan?

Ketiga, apakah maksimalisasi upaya pemerintah untuk memberangus oknum pejabat yang gemar membaca menikmati kekayaan hasil korupsinya.

Padahal ketika belum menjadi pejabat, baik di pemerintahan maupun posisinya di dewan perwakilan rakyat, ngomongnya seperti malaikat. Untuk rakyat, kebenaran dan aturan agama.

Namun setelah menjabat, ngomongnya untuk rakyat, kebenaran dan aturan agama, terhenti.
Mulutnya tak mampu berkoak-koak lagi, karena disumpal kekayaan hasil korupsi.

Jika di China, oknum seperti ini makanan empuk untuk ditembak atau digantung. Sebab ulah mereka itu akan menyengsarakan rakyat dam negara.

Apalagi ketika awal ia menjabat sebagai pemimpin teratas di China, Theng Xiau Ping (Deng Xiao Phing), ia menyiapkan 10 peti mati. “Jika saya korupsi, dari 10 peti yang ada, satu peti mati ini untuk saya,” tegasnya.

Nah, untuk urusan kemakmuran negara China yang dimotori Deng Xiao Phing itu, negara benar-benar mendampingi kemakmuran bagi rakyatnya.

Meski tak kita ulas baik buruk dari kelebihan dan kekurangan yang ada, buktinya China tampil sebagai negara super power dari Asia.

Kita yang memiliki kekayaan alam dan dikelola negara untuk kemamuran rakyat, mampukah penerintah hadir secara maksimal ketika rakyatnya berada dalam kondisi tak mampu?

Bahkan mampukah negara hadir untuk menembak mati dan menggantung para koruptor yang merusak tatanan bagi kemakmuran rakyat?

Palembang, Maret 2021