PALEMBANG|PencanangNews.com-Kekuatan paling besar bagi orang-orang yang memiliki iman adalah doa. Namun celakanya, ketika sang pendoa akan melakukan ritual pendoaan, ia justru lupa dengan nama Tuhannya sendiri. Masya Allah, ada apakah dengan kepribadiannya itu?
Meski pertanyaan harus dijawab pendoanya sendiri, namun perhitungan nilai sehingga ia lupa kepada nama Tuhannya, menjadi catatan sendiri.
Namun permintaan paling mendasar bagi seorang hamba kepada Tuhannya adalah ungkapan jiwa. Ia merasa bahwa batinnya tak memiliki nilai-nilai kemampuan seperti yang dimiliki Tuhannya.
Karena itu melalui perantaraan doa yang dimunajatkan kepada Tuhannya (Allah SWT), seorang hamba akan meminta sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
Namun yang paling celaka, ketika ia telah merentangkan kedua telapak tangannya, justru ia lupa kepada siapa (nama) permintaan itu dilabuhkan.
Nah, terkait dengan permasalahan itulah akhirnya saya mencoba untuk memahami kandungan buku kumpulan puisi *”Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya”* karya tulisan *Nuyang Jaimee*.
Sebagai seniman (penyair dan pelaku teater), *Nuyang Jaimee* tampak tak segan-segan menyajikan segala aspek pemikirannya ke dalam 20 puisi pilihan yang dihimpun dalam antologi ini.
Dari tampilan judul *”Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya”*, buku antologi ini begitu kuat mempengaruhi pokok-pokok perhatian saya. Ia berdoa, tapi lupa nama Tuhannya. Wuih, menurut saya ini unik dan menarik untuk ditelusuri pokok masalahnya.
Pertanyaan paling mendasar adalah bagaimana nilai-nilai keimanan yang ada di hatinya, ketika ia berdoa, justru lupa dengan nama Tuhannya sendiri?
Seperti yang dikemukakan sastrawan Spanyol, Mario Vargas Llose, orang-orang yang menguasai nilai-nilai ke-Tuhan-an, pola pikirnya selalu terpatok pada pemahaman isi, sehingga ia lupa pada nama yang ia sembah (Tuhan) setiap hari.
Jika ditinjau secara psikis, buku menarik yang diterbitkan *Teras Budaya Jakarta* ini lebih cenderung mengungkap beragam emosi lewat protes keadaan.
Dalam bentuk tipografi puisi bertajuk *Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya* menjelaskan protes keadaan…
_Berapa derajat celcius yang kalian butuhkan untuk menarik pikiran-pikiran kami/sementara matahari menepis bulan menipis/kalian hisap otak kami seperti menghisap bangkai dan mengunyah sop kemaluan sapi yang dimasak dengan hipokrisi_.
Dari alinea pertama jelas diungkap penyair terkait ketidaksimpatikan dirinya (kami lirik) terhadap perilaku yang ‘melecehkan’ eksistensi dirinya sebagai (wanita tentunya).
Dari uraian kalimat-kalimat di alinea pertama, memperlihatkan “kemarahan lirik” . Itu diperlihatkan dari kalimat .._kalian hisap otak kami seperti menghisap bangkai dan mengunyah sop kemaluan sapi yang dimasak dengan hipokrisi_..
Bisa jadi, “kemarahan” estetika itu ditujukan kepada oknum pejabat yang melanggar nilai-nilai kewajiban mereka kepada kami (lirik) sebagai rakyat.
Harapan bagi penyair (kami lirik) tentu saja berharap sesuai batas-batas kebutuhannya (rakyat) saja. Namun demikian, apabila harapan itu tidak diwujudkan pejabat, tentu kemarahan kami (lirik) sebagai rakyat akan bergolak. Ibarat bara-bara api tersulut benda-benda yang mudah terbakar, sehingga “kemarahan” itu pun akhirnya membesar.
Jika saya tangkap dari kata pendoa yang lupa nama Tuhannya, ternyata persepsinya terbalik. Dari makna tersirat, pendoa itu adalah oknum pejabat itu sendiri.
Sebagai “pendoa” dia lupa memenuhi kewajibannya untuk memenuhi tanggung jawabnya membahagiakan kami (rakyat : lirik).
Dari sisi inilah dapat dikuak bahwa pendoa adalah oknum pejabat (lirik), sedangkan “tuhannya” ialah kami sendiri (rakyat : lirik).
Protes keras atas ketidakadilan yang terjadi di dalam strata sosial itu diungkap penyair melalui puisi *Indonesia di Persimpangan Sejarah* di halaman 4-5 ruang kumpulan puisi.
Pada alinea kedua dipaparkan ketidakadilan yang kerap kali terjadi. _Di negeri ini penindasan masih terjadi/Kepentingan, rasa rakus dan ketidak ikhlasan/Para pemimpin tuli tak berhati nurani/Pecinta tahta, harta dan kuasa/Pemuja wanita-wanita bordil kelas dunia_..
Benarkah kondisi seperti itu masih terjadi di Indonesia? Bisa jadi begitu. Sebab ungkapan estetika dalam syair puisi merupakan ungkapan jujur dari penyair *Nuyang Jaimee*.
Penindasan seperti yanh disebut pada larik awal alunea kedua puisi ini dijelaskan secara apik. Artinya, bukan penindasan dalam bentuk kekerasan, tapi berbentuk korupsi, yang diam-diam gemar memaimkan wanita bordil kelas dunia.
Kumpulan puisi ini memang menarik. Sebab persoalan sosial yang diungkap banyak mengarah pada kebijakan pemerintah. Namun disalahgunakan oknum pejabat (lirik).
Bahasa puisi lebih mengutamakan pengungkapan secara estetika. Karena itu tiap kata yang dipilih untuk menyajikan masalah (isi puisi), sengaja dituturkan dengan kalimat puitik yang menghadirkan keberagaman persepsi.
Pertanyaannya, apakah salah apabila sebagai manusia (warga negara) si penyair menuturkan segala apa yang terjadi di dalam kehidupannya?
O, tidak. Justru sebagai penulis (penyair), ia harus peka dan jeli mengungkap segala persoalan yang muncul, dan dijelaskan secara esensial.
Tak sampai di garis batas tertentu saja, tapi “kenakalan” penyair menelaah persoalan yang diungkap dengan keleluasaan seluasnya itu dijelaskan secara secara gamblang dan esensial.
Coba perhatikan di halaman 26, penyair menggelitik persoalan sosial (aktivitas seniman) dengan cara menyerempet nilai-nilai keagamaan. Puisi ini bertajuk *Tuhan Turun Malam Ini*.
Menarik dan “kurang ajar” sekali. Sebab setelah saya tusuri, kita dijebak ke dalam persoalan sosial di antara para seniman yang berada dalam suasana euforia.
Sembari menenggak minuman keras jenis wisky, mereka mengungkap gejolak persoalan hidup seniman itu masing-masing.
Bahkan ada yang sedang putus cinta. Bahkan bukan kesedihan atas kegagalan cinta yang dirasa, tapi diungkap dengan cara ketawa terbahak-bahak.
Pada bait pertama, Nuyang Jaimee ( sang penyair) dengan gamblang menjelaskan situasi sosial yang terjadi…
_Malam ini tak ada bintang menyaksikan/para seniman meratapi cinta dan kepergian dengan cara terbahak-bahak/Ketika cinta jadi lelucon dalam botol wisky bersloki-sloki/dan tuak batang lontar yang di fregmentasi_
Dari bait awal ini dijelaskan tentang sikap para seniman (bisa jadi seniman teater) yang mengalami putus cinta diungkap dengan cara tertawa terbahak-bajak (larik ketiga) sembari menenggak wisky. Padahal judul puisinya *Tuhan Turun Malam Ini*.
Paradoksi semacam ini memang menarik. Sebagai penyair dan juga seniman panggung, Nuyang Jaimee memaparkan tentang nilai kemanusiaan yang berlatar belakang tradisi seni (teater).
Tidak semua penyair memiliki keluasan wawasan dengan cara memokuskan kehidupan para seniman teater lewat estetika sebentuk puisi (tipografi).
Menariknya, judul puisi relijik hanya sebagai lebel menarik untuk mengajak pembaca menelesik kedalaman isi lewat perilaku tokoh seniman (lirik). Memang, penjelasan tentang nilai-nilai religiusitasnya tidak ditampilkan. Namun inilah menariknya.
Sekumpulan puisi (antologi) yang memasang lebel *Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya* bisa jadi mengungkap latar belakang penulisnya (penyair) sendiri.
Meskipun apa yang saya ungkap itu hanya berdasarkan analisis pribadi, namun dalam tipografi puisi yang ada tidak menjelaskan nilai reliji secara esensi.
Seperti dikemukakan penyair dan tokoh teater Willy Brodus Surendra (WS Rendra), penjelasan isi puisi yang jujur adalah mereka menuliskan persoalannya tanpa rekayasa. Begitu yang saya tangkap dari kumpulan puisi *Nuyang Jaimee* ini.
Dalam antologi puisi ini ada beberapa puisi bercorak protes lainnya, seperti puisi *Rempang Tanah Melayu* di halaman 12.
Begitu dalamnya keprihatinan penyair atas tragedi sosial yang terjadi di Pulau Rempang. Konflik pertanahan (agraria) di kawasan itu dinilai *Nuyang* sebagai kebijakan pemerintah yang “menipu”. Ada hal yang mempengaruhi kebijakan pihak tertentu untuk menguasai tanah tersebut melalui program eco-city. Tapi perlawanan rakyat Pulau Rempang yang dihadapkan dengan petugas kepolisian dan tentara, mendapat simpatik dari seluruh masyarakat negeri ini.
Maka pada bait ketiga halaman 12 puisi *Rempang Tanah Melayu* menjelaskan tentang ketidakberesan di lapangan…
_Konflik agraria memanas lagi/Politik liar, keliaran politik/Politik rimba, rimbanya politik/Politik uang, bermoney politik/Rekening gendut, menggendutkan rekening/Manipulasi, tiputipu hukum banci/Kongkalikong, kongsi-kongsi_..
Dari sedikit uraian mengenai puisi ini, jelas, isinya mengungkap nilai mencurigakan yang bisa merusak nilai-nilai sosial bagi kehidupan masyarakat di kawasan itu (Pulau Rempang).
Apalagi ketika terjadinya “pengusiran” warga dari lokasi tempat bermukimnya orang-orang Melayu diwarnai pemukulan dan penyebaran asap yang menyesakkan napas. Kondisi inilah yang memgundang simpatik dari berbagai pihak.
Selain kasus Pulau Rempang dalam antologi ini juga terdapat puisi *Memoar Nurdin* yang memaparkan kematian Nurdin setelahtewas ditembak polisi (halaman 31).
Puisi ini berbentuk prosa liris (lirik) seperti puisi WS Rendra *Nyanyian Angsa*. Begitu jelas diurai dalam format bertutur (prosa) terkait kisahan Nurdin yang benci kepada Pak Narso dan Bu Jumino, serta tidak menyukai orang-orang yang menghina emaknya.
Buku antologi ini sangat menarik untuk dibaca. Bahkan antologi *Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya*’ini pantas jika dialokasikan ke ruang pendidikan bagi anak-anak SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
Apalagi penerbitannya dibantu orang-orang yang memang ahli di bidang sastra, seperti penyair ternama *Nanang Ribut Supriyatin* (editor).
Sedangkan pada prolog diungkap langsung oleh dosen sastra — *Prof Dr Wahyu Wibowo* – dari Universitas Nasional dan diterbitkan oleh penerbit *Teras Budaya Jakarta*.
Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, dan tiada manusia yang sempurna. Dari penelusuran saya, ada beberapa kata (diksi) yang perlu dibenahi.
Pada larik keempat bait pertama puisi *Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya* terdapat kalimat _Kalian hisap otak kami seperti menghisap bangkai_..dst.
Seperti dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata hisap yang ditulis penyair itu keliru. Harusnya isap atau tindaklajutnya mengisap. _Ah, cerita itu hanya *isapan* jempol semata_. Artinya, bukan hisapan.
Sama seperti kata utang, bukan hutang. Sebab kata dasarnya adalah utang (utang piutang).
Kata hisap dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang sering digunakan bagi pembalasan atas dosa-dosanya. _Nanti, semua kesalahan dari dosa-dosanya itu akan dihisap di hari pembalasan_.
Dari puisi *Tuhan Turun Malam Ini* di halaman 26, ada kata *di fregmentasi* (.._dan tuak batang lontar yang di fregmentasi_). Harusnya difregmentasi. Sebab kata *di* yang dipisah itu, difungsikan untuk menyatakan kata tempat. Misalnya di mana, di sana, di situ, di atas, di bawah..dst.
Sedangkan untuk kata sifat dan kata kerja, di itu disatukan, difregmentasi, dipegang, dijelaskan, dipegang, dst.
Untuk kata di penghujung (kalimat ketiga puisi *Tuhan Turun Malam Ini*), harusnya di pengujung. Sebab kata ujung itu bukan hujung.
Penjelasan ini hanya untuk membenahi kekeliruan saja. Artinya hanya untuk memberi masukan kepada penyair Nuyang Jaimee.
Memang, sebagai penyair kita bebas mengeskpresikan segala bentuk ide dan gagasan. Namun untuk hal bahasa, kita harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Sukses !. (Anto Narasoma)